-->

Iklan

Putusan MA Diabaikan Masyarakat Cijengkol R Rudi Gunadi: Jadikan Hukum Sebagai Panglima

4 April 2017, 07.18 WIB Last Updated 2017-09-26T04:59:34Z
R Rudi Gunadi, dari LABH-GRASHI
INIKABAR.com , BEKASI – Hukum sepatutnya menjadi panglima, bukannya malah sebagai punggawa, dari kekuasaan politik. Akibatnya wajah penegakan hukum di Indonesia terkontaminasi kepentingan finansial.
Setiap anak bangsa pasti melambungkan harapan setinggi langit bahwa suatu saat potret bangsa ini diwarnai oleh suasana ketertataan dan keteraturan dalam setiap aspek kehidupan.
Tak terkecuali bagi R Rudi Gunadi, dari Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Gerakan Rakyat Sadar Hukum Indonesia (LABH-GRASHI). Sebuah harapan – malah lebih tepat disebut obsesi – senantiasa membuncah di dadanya.
Apa itu? Sebagai kuasa hukum M Hendra, warga Taman Bumyagara, Blok G 5 No. 27 RT 005 RW 003, Kelurahan Mustika Jaya, Kecamatan Mustika Jaya, Kota Bekasi, Jawa Barat,.yang mendapat tugas mengamankan keputusan Mahkamah Agung (MA), Reg. Nomor: 2817.K/Pdt/1989, R Rudi Gunadi menginginkan agar supremasi hukum di negeri ini benar-benar tegak berdasarkan pada tatanan dan aturan yang ada (law and order).
“Bagi saya pribadi, tegaknya supremasi hukum di Indonesia bukan lagi sekadar harapan tapi telah mengkristal menjadi sebuah obsesi: hukum akan menjadi panglima bagi segenap dinamika kehidupan bangsa dan negara ini,” cetusnya, Senin (3/4) di rumahnya.
Terkait pembangkangan warga Kampung Lubang Buaya, RT 001 RW 004, Desa Cijengkol, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, terhadap keputusan Mahkamah Agung (MA), Reg. Nomor: 2817.K/Pdt/1989, yang dimenangkan M Hendra, Rudi Gunadi menegaskan, sepertinya ada yang ditutup-tutupi. Baik oleh aparat desa, aparat kecamatan setempat maupun instansi terkait lainnya.
“Mestinya, aparat Desa Cijengkol, aparat Kecamatan Setu, dan instansi terkait lainnya, memberikan pencerahan kepada warga yang diduga ‘menggarong’ sekaligus mendirikan bangunan untuk tempat tinggal di atas tanah milik M Hendra itu. Kalau tanah yang mereka gunakan atau dirikan bangunan untuk tempat tinggal, bukan lagi tanah mereka, melainkan tanah milik M Hendra,” tegasnya.
Dikatakan Rudi, tanah seluas 11.129 meter yang terletak di Kampung Lubang Buaya, RT 001 RW 004, Desa Cijengkol, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi itu, masih tercatat dalam buku C Desa/Girig No. 17, atas nama Anim bin Rilan.
Namun, berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bekasi, Nomor: 35/Eks/1996/06/Pdt.G/1987/PN.Bks, sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, sudah ingkrah dan kepemilikannya tidak bisa diganggu gugat, sudah jelas dan sudah selesai; ditetapkan bahwa objek tanah tersebut adalah milik Anim bin Rilan.
Dijelaskan Rudi Gunadi, saat ini kepemilikan tanah tersebut sudah sah secara hukum hak milik M Hendra. Oleh karenanya, wajib dilindungi secara hukum, karena perolehan haknya didasari/dilandasi oleh keputusan/penetapan MA, Reg. Nomor: 2817.K/Pdt/1989 dan Ketua Pengadilan Negeri Bekasi, Nomor: 35/Eks/1996/06/Pdt.G/1987/PN.Bks.
“Setiap penyelenggaraan negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, yudikatif dan pejabat lainnya yang tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, patut tunduk dan berkewajiban mengamankan, melindungi keputusan/penetapan Mahkamah Agung dan Ketua Pengadilan Negeri Bekasi, termasuk pemerintahan desa/perangkat desa dan BPD, serta seluruh warga Republik Indonesia,” katanya.
Padahal, kata Rudi Gunadi, seluruh anak bangsa telah sepakat sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945, Negara Indonesia adalah Negara Hukum, bukan Negara Kekuasaan.
“Untuk itu, harus ada kesadaran dan komitmen bersama bahwa hukum dibentuk bukan karena kepentingan politik, namun semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara,” katanya, mengingatkan.
R Rudi Gunadi lantas membeberkan sejumlah kondisi ideal – sekaligus merupakan obsesi dirinya – yang mesti terwujud pada dunia penegakan hukum di Indonesia. Menurutnya, seluruh institusi penegakan hukum di Indonesia harus memiliki kesamaan visi bahwa hukum harus ditegakkan secara obyektif dan independen.
Bergandengan erat dengan itu, R Rudi Gunadi melanjutkan, dalam menjalankan tugas di lapangan seluruh aparat penegak hukum mesti selalu merasa dikawal oleh moral dan nurani, serta oleh sistem pengawasan internal yang berlaku di institusi atau organisasi profesi yang menaunginya. Seluruh aparat penegak hukum harus menempatkan seluruh warga negara pada kedudukan yang sama di hadapan hukum, tanpa ada diskriminasi sama sekali.
Kondisi lain yang R Rudi Gunadi harapkan adalah diterapkannya hukuman-hukuman maksimal bagi pelanggar-pelanggar hukum, khususnya terhadap aparat penegakan hukum. Apakah kondisi-kondisi ideal di atas sudah terwujud?
“Secara jujur saya harus katakan, kondisi-kondisi itu sama sekali belum tercapai, dan kadang terbesit rasa pesimis itu bisa tercapai, karena sampai saat ini belum tampak indikasi-indikasi ke arah itu,” tegasnya.
Bahwa penegakan hukum masih sangat lemah, R Rudi Gunadi tidak menyangkal. Buktinya, keputusan MA, Reg. Nomor: 2817.K/Pdt/1989, yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan ingkrah, masih diabaikan oleh masyarakat. “Terus terang, saya prihatin. Mau dibawa ke mana negara kita ini,” cetusnya. (dun)

Komentar

Tampilkan

Kabar Terbaru

Kabar Hukum

+