![]() |
R Rudi Gunadi, dari LABH-GRASHI
|
INIKABAR.com , BEKASI – Hukum
sepatutnya menjadi panglima, bukannya malah sebagai punggawa, dari kekuasaan
politik. Akibatnya wajah penegakan hukum di Indonesia terkontaminasi kepentingan
finansial.
Setiap anak bangsa
pasti melambungkan harapan setinggi langit bahwa suatu saat potret bangsa ini
diwarnai oleh suasana ketertataan dan keteraturan dalam setiap aspek kehidupan.
Tak terkecuali bagi R
Rudi Gunadi, dari Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Gerakan Rakyat Sadar Hukum
Indonesia (LABH-GRASHI). Sebuah harapan – malah lebih tepat disebut obsesi –
senantiasa membuncah di dadanya.
Apa itu? Sebagai
kuasa hukum M Hendra, warga Taman Bumyagara, Blok G 5 No. 27 RT 005 RW 003,
Kelurahan Mustika Jaya, Kecamatan Mustika Jaya, Kota Bekasi, Jawa Barat,.yang
mendapat tugas mengamankan keputusan Mahkamah Agung (MA), Reg. Nomor:
2817.K/Pdt/1989, R Rudi Gunadi menginginkan agar supremasi hukum di negeri ini
benar-benar tegak berdasarkan pada tatanan dan aturan yang ada (law and order).
“Bagi saya pribadi,
tegaknya supremasi hukum di Indonesia bukan lagi sekadar harapan tapi telah
mengkristal menjadi sebuah obsesi: hukum akan menjadi panglima bagi segenap
dinamika kehidupan bangsa dan negara ini,” cetusnya, Senin (3/4) di rumahnya.
Terkait pembangkangan
warga Kampung Lubang Buaya, RT 001 RW 004, Desa Cijengkol, Kecamatan Setu,
Kabupaten Bekasi, terhadap keputusan Mahkamah Agung (MA), Reg. Nomor:
2817.K/Pdt/1989, yang dimenangkan M Hendra, Rudi Gunadi menegaskan, sepertinya
ada yang ditutup-tutupi. Baik oleh aparat desa, aparat kecamatan setempat
maupun instansi terkait lainnya.
“Mestinya, aparat
Desa Cijengkol, aparat Kecamatan Setu, dan instansi terkait lainnya, memberikan
pencerahan kepada warga yang diduga ‘menggarong’ sekaligus mendirikan bangunan
untuk tempat tinggal di atas tanah milik M Hendra itu. Kalau tanah yang mereka
gunakan atau dirikan bangunan untuk tempat tinggal, bukan lagi tanah mereka,
melainkan tanah milik M Hendra,” tegasnya.
Dikatakan Rudi, tanah
seluas 11.129 meter yang terletak di Kampung Lubang Buaya, RT 001 RW 004, Desa
Cijengkol, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi itu, masih tercatat dalam buku C
Desa/Girig No. 17, atas nama Anim bin Rilan.
Namun, berdasarkan
penetapan Ketua Pengadilan Negeri Bekasi, Nomor:
35/Eks/1996/06/Pdt.G/1987/PN.Bks, sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, sudah
ingkrah dan kepemilikannya tidak bisa diganggu gugat, sudah jelas dan sudah
selesai; ditetapkan bahwa objek tanah tersebut adalah milik Anim bin Rilan.
Dijelaskan Rudi
Gunadi, saat ini kepemilikan tanah tersebut sudah sah secara hukum hak milik M
Hendra. Oleh karenanya, wajib dilindungi secara hukum, karena perolehan haknya
didasari/dilandasi oleh keputusan/penetapan MA, Reg. Nomor: 2817.K/Pdt/1989 dan
Ketua Pengadilan Negeri Bekasi, Nomor: 35/Eks/1996/06/Pdt.G/1987/PN.Bks.
“Setiap
penyelenggaraan negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, yudikatif
dan pejabat lainnya yang tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, patut tunduk dan berkewajiban mengamankan, melindungi
keputusan/penetapan Mahkamah Agung dan Ketua Pengadilan Negeri Bekasi, termasuk
pemerintahan desa/perangkat desa dan BPD, serta seluruh warga Republik
Indonesia,” katanya.
Padahal, kata Rudi
Gunadi, seluruh anak bangsa telah sepakat sebagaimana ditegaskan dalam UUD
1945, Negara Indonesia adalah Negara Hukum, bukan Negara Kekuasaan.
“Untuk itu, harus ada
kesadaran dan komitmen bersama bahwa hukum dibentuk bukan karena kepentingan
politik, namun semata-mata untuk kepentingan bangsa dan negara,” katanya,
mengingatkan.
R Rudi Gunadi lantas
membeberkan sejumlah kondisi ideal – sekaligus merupakan obsesi dirinya – yang
mesti terwujud pada dunia penegakan hukum di Indonesia. Menurutnya, seluruh
institusi penegakan hukum di Indonesia harus memiliki kesamaan visi bahwa hukum
harus ditegakkan secara obyektif dan independen.
Bergandengan erat
dengan itu, R Rudi Gunadi melanjutkan, dalam menjalankan tugas di lapangan
seluruh aparat penegak hukum mesti selalu merasa dikawal oleh moral dan nurani,
serta oleh sistem pengawasan internal yang berlaku di institusi atau organisasi
profesi yang menaunginya. Seluruh aparat penegak hukum harus menempatkan
seluruh warga negara pada kedudukan yang sama di hadapan hukum, tanpa ada
diskriminasi sama sekali.
Kondisi lain yang R
Rudi Gunadi harapkan adalah diterapkannya hukuman-hukuman maksimal bagi
pelanggar-pelanggar hukum, khususnya terhadap aparat penegakan hukum. Apakah
kondisi-kondisi ideal di atas sudah terwujud?
“Secara jujur saya
harus katakan, kondisi-kondisi itu sama sekali belum tercapai, dan kadang
terbesit rasa pesimis itu bisa tercapai, karena sampai saat ini belum tampak
indikasi-indikasi ke arah itu,” tegasnya.
Bahwa penegakan hukum
masih sangat lemah, R Rudi Gunadi tidak menyangkal. Buktinya, keputusan MA,
Reg. Nomor: 2817.K/Pdt/1989, yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan
ingkrah, masih diabaikan oleh masyarakat. “Terus terang, saya prihatin. Mau dibawa
ke mana negara kita ini,” cetusnya. (dun)